Selasa, 30 Juni 2015

BERPUASA CARA ROSULULLAH

Sebagai umat Islam, kita semua tentu bercita-cita bisa beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Shalat seperti yang dicontohkan Rasul, makan, minum, tersenyum, dan amal ibadah lainnya seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.
Tak mudah mengikuti seperti apa yang diberikan dan disampaikan oleh Rasul SAW. Sebab, beliau adalah teladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah pemimpin yang tak ada bandingannya di dunia ini. Banyak orang mengakui keagungan dan kehebatan Rasulullah. Beliau adalah contoh bagi orang kaya dalam kedermawanannya, beliau adalah contoh bagi orang miskin dalam kesederhanaan dan kezuhudannya, dan Rasulullah SAW adalah teladan bagi pemimpin dalam ketegasan dan kebijaksanaannya.
Dalam Alquran, Allah memuji Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang baik bagi umat. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21). Hal ini menunjukkan bahwa akhlak dan pribadinya sangat baik dan mulia.
Bahkan, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA dinyatakan bahwa akhlak Rasulullah SAW itu senantiasa merujuk pada Alquran. Karena itu, sudah selayaknya umat Islam mencontoh dan meneladani kepribadian Rasulullah SAW dalam segala hal, termasuk puasa. Berikut beberapa cara yang biasa dilakukan Rasulullah SAW dalam menjalankan ibadah puasa dan menghidupkan Ramadhan.
Berniat puasa sejak malam
Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak berniat untuk puasa Ramadhan sejak malam, maka tak ada puasa baginya.” (HR Abu Dawud).
Mengawali dengan sahur
Setiap akan berpuasa, Rasul SAW selalu makan sahur dengan mengakhirkannya, yakni menjelang datangnya waktu imsak.
Menyegerakan berbuka dan shalat
Dan ketika berbuka itu, Rasul SAW hanya memakan tiga biji kurma dan segelas air putih, lalu segera berwudhu untuk mengerjakan shalat Maghrib secara berjamaah.
Dari Abu ‘Athiyah RA, dia berkata, “Saya bersama Masruq datang kepada Aisyah RA. Kemudian Masruq berkata kepadanya, “Ada dua sahabat Nabi Muhammad SAW yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, dan salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan shalat Maghrib dan kemudian berbuka. Sedangkan yang seorang lagi, berbuka dulu baru kemudian mengerjakan shalat Maghrib.” Aisyah bertanya, “Siapakah yang segera mengerjakan shalat Maghrib dan berbuka?” Masruq menjawab, “Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata, “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah SAW.” (HR Muslim No 1242).
Memberbanyak ibadah
Selama bulan Ramadhan, Rasul SAW senantiasa memperbanyak amalan, seperti shalat malam, tadarus Alquran, zikir, tasbih, dan sedekah.
Iktikaf
Memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasul SAW meningkatkan aktivitas ibadahnya, terutama dengan iktikaf.
@@@
Sumber : Republika.co.id

Sabtu, 27 Juni 2015

HIDUPNYA RUH RAMADHAN




Assalamualaikum wr wb. Apa kabar dulur? Semoga kita masih semangat untuk beribadah menggapai ridho Ilahi dan inilah saat yang tepat karena ada bulan Ramadan yang mulia ini, untuk menyandarkan diri dengan banyak melakukan kontemplasi zikir sehingga unsur-unsur “listrik” yang ada dalam diri manusia yang terkadang bertegangan tinggi tidak lagi membuatnya konslet dan terjatuh pada situasi ekstrem.
Amalan puasa /thariqah yang dilakukan dengan tenang dan tulus, pelan-pelan akan menumbuhkan kualitas-kualitas kemanusiaan (al-insaniyyah al-amaliyyah as-shaihat) yang menuju ke arah insan kamil, pribadi yang sempurna. Melalui kualitas-kualitas inilah manusia dapat menormalkan ketegangan urat syarafnya untuk membimbing dirinya ke dalam keseimbangan mental. Rohani dan nalar sehingga ia mampu dengan tenang dan akal sehat mencari penyelesaian dan memecahkan problem besar yang selalu mengitarinya.
Inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi, “Bahwa ibadah puasa benteng bagi semua orang yang beriman”. Mudah-mudahan dengan ibadah puasa ini akan terbentuk kualitas kemanusiaan yang terbimbing mental, nalar dan rohaniahnya. Dengan demikian, suasana apapun tidak mengarah pada kekerasan.
Sikap-sikap seperti barbarisme ashabiahisme, powerisme, syndromisme, tokohisme, dan golonganisme harus segera disingkirkan dari dalam diri kita juga di dalam negeri yang berakar budaya religius ini. Seiring dengan itu, kita memiliki harapan sebagai bangsa bahwa semua pemimpin yang ada saat ini insya allah kita doakan bisa amanah, berkualitas, profesional, dan berwatak saleh menjadi kenyataan.
Ramadhan ini adalah saat yang bagus untuk “memarkir kendaraan” ego pribadi untuk kemudian mensublimasikan diri ke dalam jiwa jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat. Setiap manusia, apalagi pemimpin yang hakiki itu sejatinya memiliki posisi mulia, karena kekuasaan yang digenggamnya sesungguhnya bukan untuk kepentingannya sendiri melainkan bertugas untuk menjalankan amanah rakyat.
Oleh karenanya, kita semua adalah pemimpin yang wajib menjadikan dirinya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya diterima di golongannya, di dapilnya, di partainya melainkan diterima seluruh partai, diterima seluruh jenis kelamin, seluruh usia, seluruh manusia yang mukim di sidoarjo karena ia adalah pribadi yang berkualitas “bapak” bagi semua anaknya.
Ramadhan juga mengajarkan kepada kita agar memiliki rem yang pakem. Dalam tugas sehari-hari, kita pasti akan menghadapi perbedaan pendapat dengan pihak lain. Jika itu benar-benar muncul didasarkan hasil reasoning (penalaran/ijtihad) atas norma-norma hukum, tanpa didasari oleh sentimen kepentingan politik yang saling jatuh menjatuhkan masih dipandang wajar, karena dalam wacana hukum islam perbedaan pendapat adalah sebuah dinamika yang harus ditumbuh kembangkan. Sebaliknya, bila
konflik itu mengarah pada situasi yang meresahkan masyarakat dan anarkis, islam dengan tegas mengharamkan.
Setiap manusia adalah zoon politicon. Sang pencari solusi pemecahan masalah yang secara politis waajiblah memiliki etika secara bijaksana dan memenuhi rasa keadilan. Begitu pentingnya pemecahan masalah secara bijaksana dan berkeadilan sehingga dalam konteks historis hal itu bisa dicontohkan manakala Rasulullah wafat dan umat Islam menentukan siapa penggantinya secepatnya maka terjadilah diskusi panjang, pemecahan masalah secara bijaksana dan para sahabat menunda pemakaman Nabi dengan mendahulukan pemilihan Iman.
Betapapun mendesaknya mencari solusi pemecahan masalah namun proses harus tetap mengacu pada prinsip nalar yang sehat dan musyawarah yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Nah, di dalam lingkungan kita hidup bermasyarakat saat ini kita perlu membentuk satu lembaga yang ahlialhilli wa al-aqdi, yang menghimpun para tokoh/ahli dari berbagai bidang yang berpengetahuan luas (mujtahid), konsisten, jujur dan tidak memihak kepada suatu golongan. (iala thabi’at al-ashabiyyat).
Praktik perpolitikan Islam melalui lembaga ahlu al-Hilli wa al-Aqdi dengan sistem musyawarah yang baik dan lancar, tanpa radikalisme politik telah berlangsung di era sahabat al-Khulafa ar-Rasyidin. Baru setelah era sahabat, proses pengangkatan kepemimpinan, berjalan dalam sistem dinasti yang dilakukan secara turun-temurun. Sistem pemerintahan kemudian dipegang oleh raja yang berwatak otoriter dan absolut (ila’ tahabi’at al-mulk) yang berakhir dengan kehancuran pemerintahan-pemerintahan di dunia Islam.
Kini, saat puasa ramadhan kita lanjutkan hidup bermasyarakat dengan usaha-usaha musyawarah. Dialog-dialog dengan menggunakan nalar sehat dengan semua elemen masyarakat harus terus dilakukan. Amin…….

Sumber : @KWA,2015 (*)