Assalamualaikum wr wb. Apa kabar
dulur? Semoga kita masih semangat untuk beribadah menggapai ridho Ilahi dan
inilah saat yang tepat karena ada bulan Ramadan yang mulia ini, untuk
menyandarkan diri dengan banyak melakukan kontemplasi zikir sehingga
unsur-unsur “listrik” yang ada dalam diri manusia yang terkadang bertegangan
tinggi tidak lagi membuatnya konslet dan terjatuh pada situasi ekstrem.
Amalan puasa /thariqah yang
dilakukan dengan tenang dan tulus, pelan-pelan akan menumbuhkan
kualitas-kualitas kemanusiaan (al-insaniyyah al-amaliyyah as-shaihat) yang
menuju ke arah insan kamil, pribadi yang sempurna. Melalui kualitas-kualitas
inilah manusia dapat menormalkan ketegangan urat syarafnya untuk membimbing
dirinya ke dalam keseimbangan mental. Rohani dan nalar sehingga ia mampu dengan
tenang dan akal sehat mencari penyelesaian dan memecahkan problem besar yang
selalu mengitarinya.
Inilah yang dimaksud dengan hadis
Nabi, “Bahwa ibadah puasa benteng bagi semua orang yang beriman”. Mudah-mudahan
dengan ibadah puasa ini akan terbentuk kualitas kemanusiaan yang terbimbing
mental, nalar dan rohaniahnya. Dengan demikian, suasana apapun tidak mengarah
pada kekerasan.
Sikap-sikap seperti barbarisme
ashabiahisme, powerisme, syndromisme, tokohisme, dan golonganisme harus segera
disingkirkan dari dalam diri kita juga di dalam negeri yang berakar budaya
religius ini. Seiring dengan itu, kita memiliki harapan sebagai bangsa bahwa
semua pemimpin yang ada saat ini insya allah kita doakan bisa amanah, berkualitas,
profesional, dan berwatak saleh menjadi kenyataan.
Ramadhan ini adalah saat yang
bagus untuk “memarkir kendaraan” ego pribadi untuk kemudian mensublimasikan
diri ke dalam jiwa jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat. Setiap
manusia, apalagi pemimpin yang hakiki itu sejatinya memiliki posisi mulia,
karena kekuasaan yang digenggamnya sesungguhnya bukan untuk kepentingannya
sendiri melainkan bertugas untuk menjalankan amanah rakyat.
Oleh karenanya, kita semua adalah
pemimpin yang wajib menjadikan dirinya diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat, bukan hanya diterima di golongannya, di dapilnya, di partainya
melainkan diterima seluruh partai, diterima seluruh jenis kelamin, seluruh
usia, seluruh manusia yang mukim di sidoarjo karena ia adalah pribadi yang
berkualitas “bapak” bagi semua anaknya.
Ramadhan juga mengajarkan kepada
kita agar memiliki rem yang pakem. Dalam tugas sehari-hari, kita pasti akan
menghadapi perbedaan pendapat dengan pihak lain. Jika itu benar-benar muncul
didasarkan hasil reasoning (penalaran/ijtihad) atas norma-norma hukum, tanpa
didasari oleh sentimen kepentingan politik yang saling jatuh menjatuhkan masih
dipandang wajar, karena dalam wacana hukum islam perbedaan pendapat adalah
sebuah dinamika yang harus ditumbuh kembangkan. Sebaliknya, bila
konflik itu mengarah pada situasi
yang meresahkan masyarakat dan anarkis, islam dengan tegas mengharamkan.
Setiap manusia adalah zoon
politicon. Sang pencari solusi pemecahan masalah yang secara politis waajiblah
memiliki etika secara bijaksana dan memenuhi rasa keadilan. Begitu pentingnya
pemecahan masalah secara bijaksana dan berkeadilan sehingga dalam konteks
historis hal itu bisa dicontohkan manakala Rasulullah wafat dan umat Islam
menentukan siapa penggantinya secepatnya maka terjadilah diskusi panjang,
pemecahan masalah secara bijaksana dan para sahabat menunda pemakaman Nabi
dengan mendahulukan pemilihan Iman.
Betapapun mendesaknya mencari
solusi pemecahan masalah namun proses harus tetap mengacu pada prinsip nalar
yang sehat dan musyawarah yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Nah, di
dalam lingkungan kita hidup bermasyarakat saat ini kita perlu membentuk satu
lembaga yang ahlialhilli wa al-aqdi, yang menghimpun para tokoh/ahli dari
berbagai bidang yang berpengetahuan luas (mujtahid), konsisten, jujur dan tidak
memihak kepada suatu golongan. (iala thabi’at al-ashabiyyat).
Praktik perpolitikan Islam
melalui lembaga ahlu al-Hilli wa al-Aqdi dengan sistem musyawarah yang baik dan
lancar, tanpa radikalisme politik telah berlangsung di era sahabat al-Khulafa
ar-Rasyidin. Baru setelah era sahabat, proses pengangkatan kepemimpinan,
berjalan dalam sistem dinasti yang dilakukan secara turun-temurun. Sistem
pemerintahan kemudian dipegang oleh raja yang berwatak otoriter dan absolut
(ila’ tahabi’at al-mulk) yang berakhir dengan kehancuran
pemerintahan-pemerintahan di dunia Islam.
Kini, saat puasa ramadhan kita
lanjutkan hidup bermasyarakat dengan usaha-usaha musyawarah. Dialog-dialog
dengan menggunakan nalar sehat dengan semua elemen masyarakat harus terus
dilakukan. Amin…….
Sumber : @KWA,2015 (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar